PONTIANAK –Masyarakat semakin melupakan gaya bangunan lokal khas Indonesia dan menggunakan bentuk-bentuk yang dinilai lebih modern. “Padahal begitu banyak kearifan lokal yang didapat dari gaya-gaya arsitektur kita,” ujar Valentinus Pebriano, dosen Prodi Arsitektur Untan yang juga menjabat Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) DPD Kalbar. Menurutnya, bentuk rumah suku-suku di Kalbar sudah sangat sesuai dengan kondisi lingkungannya.
Gaya rumah Dayak dan Melayu misalnya, memiliki jendela dan pintu besar. Hal itu membuat peredaran udara lancar sehingga suasana di dalam rumah menjani lebih sejuk dan penuh pencahayaan. “Nenek moyang kita itu membuat rumah sesuai dengan kondisi alam. Kebetulan iklim kita tropis, jadi itulah (arsitektur lokal) bentuk yang cocok. Gaya itu bisa dipadadukan dengan unsur modern,” ujarnya.Valentinus menilai, maraknya rancangan-rancangan modern justru bisa sangat berdampak negatif. Sebabnya adalah model-model arsitektur tersebut diimpor dari Eropa yang memiliki iklim jauh berbeda dengan Indonesia. Di sana (Eropa), punya empat musim. Sehingga rumahnya punya bentuk yang didesain lebih tertutup untuk menyerap panas. Penggunaan kaca yang berlebihan pun dinilai tidak baik.
Penggunaan kaca menurutnya, meski memberi efek positif pada pencahayaan, dampak negatifnya lebih banyak. “Kalau ditutupi dengan kaca semua, tentu tidak ada udara masuk. Dampaknya ruangan jadi lebih panas. Nah, untuk memecahkan masalah itu, orang lalu menggunakan AC dan benda-benda lain yang boros energi,” sambung Valentinus.Valentinus mengimbau agar masyarakat tidak hanya membuat rumah yang asal-asalan, modern namun melupakan efek negatifnya. “Banyak orang sekarang gengsinya tinggi, bentuk modern itu harus ambil dari luar (Barat) menurutnya. Padahal tidak, contoh Bali, bangunan di sana hampir semuanya berciri lokal, meski sudah modern. Jadi lebih tampak indah dipadukan dengan gaya kontemporer,” imbuhnya. (ars)
sumber:http://www.pontianakpost.com/index.php/function.mysql-query?mib=komentar&id=88403