Pontianak dinilai perlu ditata lagi. Beberapa sektor cenderung tidak baik dari segi sosial budaya, wisata maupun ekonomi. Tiga belas mahasiswa Prodi Arsitektur, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Untan merancang konsep Green Equatourism untuk Pontianak. Mereka berhasil masuk delapan besar dari 34 peserta se-Indonesia.
HENDY ERWINDI, Pontianak
TIGA belas mahasiswa duduk mengelilingi meja bundar di laboratorium arsitektur Fakultas Teknik Untan, kemarin (26/9) sore. Meja di hadapan mereka penuh dengan maket bangunan, lengkap dengan taman. Di ujung meja terpampang layar dengan berbagai gambar. Slide pertama menampilkan Pontianak dari udara, terlihat jelas persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak dengan pemukiman padat di pinggirnya. Slide selanjutnya menunjukan berbagai konsep penataan kota yang dirancang oleh mahasiswa tersebut.Konsep itulah yang diberi nama Green Equatourism. Sebanyak 13 mahasiswa itu berhasil menjadikan konsep tersebut masuk delapan besar dalam lomba penataan kota berkelanjutan yang diselenggarakan Komite Nasional Pemuda Indonesia dan Tim Visi Indonesia 2033 di Jakarta, akhir Juli lalu.
Dari 13 mahasiswa itu hanya dua yang berangkat ke Jakarta, yakni, Pedro Ferris dan Dzikri Putra. Keduanya memaparkan konsep Green Equatourism di hadapan juri yang semuanya profesor. “Ini masalah Kota Pontianak saat ini yang coba kami identifikasi,” ungkap Pedro membuka pembicaraan.Dia lantas memaparkan lebih lanjut permasalah Kota Pontianak. Di antaranya, bangunan yang cenderung horizontal membuat kota semakin melebar. Iklim tropis yang tidak dimanfaatkan, keterbatasan pangan, kurangnya ruang publik, polusi, hidup tidak ramah lingkungan, kualitas dan ketersediaan air bersih, krisis BBM dan kurang perlindungan terhadap budaya alam.
Pedro mengatakan, timnya membuat konsep pembangunan rumah di kota tidak sebatas 2-3 lantai, tapi ditingkatkan menjadi 4-6 lantai agar tidak memakan lahan. “Seperti Rusunawa yang ada di Pontianak Barat sekarang,” ungkapnya.
Konsep lainnya, membuat jalur pejalan kaki dan bersepeda untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Areal ini dibarengi dengan penghijauan atau membuat penggunaannya nyaman. Selanjutnya, memanfaatkan sungai sebagai pusat kegiatan masyarakat. Dibuat dengan konsep waterfront city, tapi lebih besar lagi dari yang ada sekarang. “Sebagai ruang publik sekaligus objek wisata,” katanya.
Pun dengan wisata, tim itu menyarankan kawasan Tugu Khatulistiwa tidak sekedar yang ada sekarang. Tapi membuat satu kawasan atau jalan lurus mengikuti garis khatulistiwa. Sehingga wisatawan dapat menikmati sensasi perbedaan sisi utara dan selatan bumi. “Semacam green line. Di sepanjang jalan itu di buat garis mengikuti equator. Ada garis equator di tengah jalan, sehingga saat kulminasi wisatawan lebih menikmati fenomena itu,” ucapnya. Selain itu masih ada beberapa konsep untuk Kota Pontianak yang dinilai perlu dilakukan namun cenderung radikal. Memerlukan keberanian dan konsistensi Pemkot untuk mewujudkannya. “Misalnya dengan atap bangunan penangkap panas matahari untuk semua penduduk. Karena panas matahari kita sangat melimpah mengapa tidak dimanfaatkan. Mengapa Eropa yang panas mataharinya lebih sedikit tapi berebut memanfaatkannya,” kata Pedro.
Dosen pembimbing tim 13 itu, Mira Lubis mengacungkan jempol bagi mahasiswanya walau hanya delapan besar. Tetapi itu menurutnya luar biasa karena pesertanya tidak hanya dari mahasiswa. Tapi profesional, pemerintah dan swasta. “Bahkan yang juara itu dari Bappeda Bekasi,” ungkapnya. Dekan Fakultas Teknik Untan, Junaidi menyarankan hasil karya mahasiswa ini disampaikan ke Wali Kota Pontianak. Dia berharap dari beberapa konsep ada salah satu atau dua diimplementasiken Pemkot Pontianak. “Ini prestasi yang luar biasa. Teruslah berkarya dan kami dari fakultas pasti mendukung,” janjinya. (*)
sumber: http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=97961